“Maaf ya, dik Dirga. Kami sudah ndak tahan lagi,” suara berat pria paruh baya itu terdengar sedikit bergetar.
“Tapi pak, kontraknya masih ada 10 bulan lagi, lho. Sesuai perjanjian…”
“Ndak apa. Mau dikembalikan cuma setengahnya atau ndak dikembalikan juga saya ndak masalah. Kami cuma mau segera pindah aja.”
Pria yang dipanggil Dirga itu pun hanya bisa tersenyum kecut dan mau tak mau menerima kunci ruko yang diulurkan kepadanya.
“Berapa lama, Dir?”
Dirga menoleh ke arah Dana, sepupunya yang bersandar di pintu mobil sebentar, sebelum melambaikan tangannya ke pria paruh baya yang sudah mengendarai motornya menjauh.
“Dua bulan,” jawabnya seraya berjalan ke arah ruko.
“Wah, rekor tuh! Sebelumnya padahal tahan sampai enam bulan, kan?”
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Dirga meraih gembok besar yang mengunci railing pintu ruko, melesakkan salah satu kunci, lalu melepaskan gemboknya sedikit kasar. Dengan bantuan Dana, ia membuka kedua railing lebar-lebar. Hela napas pendek keluar dari bibirnya ketika kedua matanya menyapu rata seluruh isi ruko yang benar-benar kosong.
Usianya masih 20 tahun ketika pertama kali ia terpaksa membantu usaha ayahnya sebagai Broker Properti. Padahal ia tidak memiliki dasar pendidikan marketing atau bisnis sedikitpun. Ia mengambil jurusan sastra ketika SMA, karena ia terlalu malas untuk mempelajari fisika kimia dan ingatannya terlalu buruk untuk menghafalkan sejarah. Alhasil ia pun melanjutkan kuliah di Sastra Jepang, meskipun akhirnya tidak ia selesaikan sampai akhir.
Usianya nyaris 21 tahun ketika penyakit kanker yang diderita ayahnya semakin parah dan mau tak mau ia harus benar-benar memegang penuh bisnis jual-beli rumah dan ruko itu. Ia adalah putera sulung di keluarganya, sementara kedua adiknya masih SMA dan SMP. Oleh karenanya, kalau bukan Dirga yang melanjutkan, ayahnya terpaksa harus gulung tikar. Padahal hanya dari situlah pemasukan keluarganya berasal.
Usianya baru saja beranjak 22 tahun ketika ia benar-benar harus menjadi Broker Properti sepenuhnya setelah ayahnya tiada. Keluarganya nyaris hancur segera setelah alat pacu jantung tak lagi bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Ketidakpercayaan yang ditampilkan sang ibu justru memberinya semangat untuk menunjukkan bahwa ia bisa menggantikan posisi ayah sebagai kepala rumah tangga.
Usianya hendak mengakhiri 23 tahun ketika untuk pertama kalinya ia sukses menjual tiga buah ruko berturut-turut. Kemudian diikuti keberhasilannya menjual beberapa rumah di sebuah perumahan yang masih berupa cetak biru. Keberhasilan demi keberhasilan terus saja menghampiri Dirga, usahanya siang malam menjalin koneksi selama ini mulai terbayarkan.
Hingga lima tahun kemudian, tepatnya satu tahun yang lalu, ada sebuah ruko yang entah kenapa tak pernah ditinggali lama oleh penyewanya.
“Ini penyewa yang ke berapa, Dir?” tanya Dana memudarkan lamunannya.
“Tiga,” ujarnya kembali dengan hela napas pendek. Sebelah tangannya memijat keningnya pelan.
Mendadak ia kembali teringat akan kalimat salah seorang teman perempuannya, Rena, ketika penyewa pertama keluar setelah 4 bulan lamanya. Awalnya ia tak mau mempercayai yang diucapkan oleh Rena. Ia lebih percaya bahwa sang penyewa berhenti karena soto dagangannya kalah saing dengan sebuah resto yang lebih ramai tak jauh dari ruko itu.
Ketika penyewa kedua masih betah menyewa selama empat bulan, kepercayaan diri Dirga meningkat. Ia cukup yakin ruko ini lebih cocok digunakan untuk berjualan barang mati daripada makanan yang tidak tahan lama. Karena toh toko alat tulis itu masih saja berjualan hingga bulan kelima, juga keenam. Sayangnya setelah itu tetap saja sang penyewa memutuskan untuk berhenti.
Lagi, meskipun Dirga teringat akan kalimat yang diucapkan Rena, ia lebih percaya dengan alasan yang dituturkan sang Penyewa yang katanya ingin kembali pulang ke kampung halamannya demi kedua orangtuanya. Jauh lebih masuk akal.
Butuh waktu sedikit lebih lama untuk mendapatkan penyewa ketiga. Cukup lama hingga ia sempat menjual beberapa unit rumah di sebuah perumahan yang baru dibangun di tengah kota. Dirga bahkan nyaris lupa akan keberadaan ruko itu jika pria paruh baya berlogat medok yang baru saja menyerahkan kunci tadi tidak menghubunginya. Menanyakan perihal ruko kosong bercat merah dan kuning dengan spanduk bertuliskan nama dan nomor telepon Dirga di depannya.
Kembali Dirga merasa ragu, ucapan Rena sekali lagi terngiang di pikirannya. Seberapa keras pun ia berusaha menepis, tapi kalimat itu seolah terus saja menghantuinya. Bahkan setelah seluruh urusannya deal sekalipun, Dirga selalu berusaha berpikiran positif bahwa kali ini permasalahan sewa ini akan lancar tanpa ada kendala sedikitpun. Sayangnya, dua bulan kemudian, harapannya itu kembali tidak terwujud.
Sekarang, di pintu masuk ruko, Dirga melirik kecil ke sebuah titik di bawah tangga. Perlahan namun pasti dadanya mulai berdegup semakin kencang. Jika mengutip kalimat Rena, seharusnya di situ.
***
“Di ujung ruangan, tepat di bawah tangga, ada yang menunggui ruko ini, Dir. Dia nggak mengganggu sih, tapi tiap malam dia akan mengeluarkan suara-suara yang ‘sedikit‘ membuat keributan,” ujar Rena malam itu dengan membuat tanda kutip dengan kedua tangannya di samping kepalanya. Saat itu padahal Dirga bukannya dengan sengaja mengajak perempuan mungil itu ke rukonya. Malam itu keduanya baru pulang dari reuni sekolahnya, dan rumah Rena kebetulan searah dengan rumahnya.
“Suara apa?” tanya Dirga skeptis. Memang ia pernah mendengar cerita tentang kemampuan indera entah yang keberapa milik Rena dari teman-temannya yang lain. Tapi belum pernah sekalipun ia mendengar atau melihatnya sendiri.
“Seperti lolongan panjang, yang mungkin akan berlangsung satu hingga dua jam setiap malam.”
“Melolong? Bentuknya seperti anjing memangnya? Atau serigala?”
“Hmm,” Rena kembali melirik ke arah yang diucapkan sebelumnya, “bukan. Ia seperti manusia kok, tapi kakinya berjongkok seperti anjing, dan diikat semacam rantai. Wajahnya juga sebenarnya normal, kecuali mulutnya. Mulutnya membentuk seperti o kecil, seperti ini,” Rena memonyongkan mulutnya sendiri membentuk o kecil, “oh, dan matanya kosong.”
“Oh,” responnya pendek. Dirga sebenarnya masih cukup skeptis, meskipun tetap saja tubuhnya yang bergidik tak bisa ingkar.
“Kamu mau coba lihat?” tanya Rena dengan senyum lebar di bibirnya.
***
Dirga menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Kenapa, Dir?” tanya Dana khawatir.
“Nggak.”
Ia lalu menutup kembali railing pintu ruko dan memasang gembok besar seperti semula. Segera setelah ia memasang gemboknya, langkahnya bergegas ke arah mobil.
Sekilas tadi, ia seolah bisa mendengar suara lolongan di kejauhan.