Ketika nenek meninggal dunia, setiap cucunya diberikan kesempatan untuk menyimpan salah satu benda kesayangan nenek. Sepupu-sepupuku tentu mulai mendata apa saja barang yang mereka inginkan. Mulai dari pakaian, tas kulit, panci, hingga lemari langsung menjadi incaran. Segalanya terasa lancar hingga ketika giliranku tiba.
Aku bisa melihat dengan jelas kernyitan di dahi bibi dan ibuku. Mereka berdua pun sempat terlihat saling memandang selama beberapa menit, entah karena tak yakin mengapa aku meminta benda tersebut atau tak yakin untuk menyerahkannya padaku. Padahal yang aku pinta hanyalah sebuah buku tebal berisi resep-resep andalan nenek.
Dan kini, di usiaku yang ke delapan belas, ketika aku mulai serius mendalami bidang tata boga, seharusnya tidak mengherankan kalau buku resep nenek menjadi milikku. Lagipula, cucu nenek yang lain tak ada yang tertarik untuk memiliki buku tersebut. Tak ada yang pernah diajak memasak sejak kecil dan tak ada yang memiliki ketertarikan pada dunia boga. Sehingga agak aneh jika keputusan memberikan buku tebal bersampul kulit itu padaku membutuhkan obrolan yang serius dan lama.
Tujuh belas jam. Tepat tujuh belas jam sejak pertama kali aku meminta buku resep nenek itu, akhirnya ibu memperbolehkanku memilikinya. Akhirnya aku mendapatkan buku resep nenek di tanganku. Padahal sepupuku yang lain sudah mulai membawa pulang barang yang mereka inginkan masing-masing. Lemari pakaian nenek bahkan sudah mulai terlihat kosong. Beberapa tas kulit koleksi nenek pun sudah tak terlihat di rak penyimpanannya.
Meski begitu, tak masalah bagiku karena akhirnya aku bisa mendapatkan buku yang penuh kenangan indah itu. Ditambah lagi aku juga mendapatkan beberapa peralatan memasak yang disimpan dalam satu kardus yang sama dengan buku tersebut. Sehingga penantian yang lama itu rasanya seperti terbayar manis. Dengan resep dan peralatan tersebut, aku yakin akan bisa mengembalikan setiap kenangan yang dahulu pernah kubuat bersama nenek.
Dua hari setelahnya, aku sudah membaca setiap lembar halaman yang sudah berwarna nyaris kekuningan dalam buku tersebut. Beberapa resepnya kukenali dengan baik dan beberapa di antaranya meninggalkan senyum lebar di bibirku. Setelah beberapa kali membolak-balikkan halamannya secara berhati-hati, aku memutuskan untuk membuat kue sus fla yang dahulu sering dibuatkan nenek setiap bulan.
Jumat sore hari itu, sepulang dari kuliah aku langsung mampir ke sebuah toko bahan kue. Aku membeli beberapa bahan yang dituliskan di dalam buku resep nenek. Mulai dari tepung terigu, margarin, susu cair, tepung maizena, serta vanili. Sementara beberapa bahan seperti telur dan gula pasir yang sudah ada di rumah kucoret dari daftar.
Sesampainya di rumah, aku sudah tak sabar ingin membuat kue sus dari resep nenek. Setelah meletakkan dan menyiapkan seluruh bahan yang diperlukan, aku langsung mengambil kardus berisikan buku resep nenek beserta peralatannya. Panci, spatula, beberapa cetakan, alat penggilas, loyang, dan pengocok telur yang terbuat dari tembaga langsung kucuci hingga bersih. Kemudian aku mengeluarkan beberapa lilin yang berada di dasar kardus. Aku pun menyalakan beberapa lilinnya di dapur, mengikuti kebiasaan nenek sebelum membuat kue.
Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung meletakkan panci di atas kompor yang menyala kemudian menuangkan air dan margarin ke dalamnya. Secara perlahan aku mengaduk dengan spatula sampai adonannya tercampur rata. Sesekali aku melirik ke arah buku resep yang terbuka di dekat kompor, memastikan tahapan yang kulakukan tidak ada yang terlewat.
Setelah airnya mendidih, perlahan aku memasukkan tepung terigu yang sudah diayak. Tanpa menunggu waktu lama aku langsung mengaduk-aduk adonan di dalam panci. Biasanya, tak lama adonannya akan segera kalis dan teksturnya menjadi lebih padat.
Biasanya, atau seharusnya. Namun, entah mengapa saat itu mendadak muncul asap tebal dari dalam panci. Bahkan setelah aku mematikan kompor sekalipun, asap itu masih saja tidak menghilang. Anehnya, tidak ada sedikit pun bau gosong yang tercium. Alih-alih, ada sebuah bau belerang yang menyengat hidung, tapi tidak berasal dari dalam panci. Belum selesai rasa heranku, mendadak terdengar suara deham dari belakangku.
“Hei!”
Aku yang menyadari kalau sedari tadi sendirian di rumah pun langsung terpaku. Apalagi suara yang menggema di kepalaku itu terdengar sangat berat dan tidak seperti suara ibu atau bibi. Setelah mengumpulkan keberanian, aku langsung memutar kepalaku perlahan, berusaha melihat sosok yang berada di belakangku itu. Segala kemungkinan terburuk berlarian di kepalaku. Malingkah? Pencuri? Tetangga yang masuk rumah karena pintu belum kukunci? Atau—,
“Siapa kau?” suara yang nyaris terdengar menggema itu kembali terdengar, “bagaimana bisa kamu memanggilku?”
Aku hanya bisa membelalakkan mata ketika mendapati seorang pria tinggi berambut gondrong yang memiliki sayap berwarna hitam di punggungnya. “Ka—kamu siapa?” tanyaku terbata.
“Justru itu pertanyaanku. Apa yang sudah kau lakukan hingga bisa memanggilku, Focalor, Duke of Hell, ke tempat yang—,” dalam sebuah gerakan kecil ujung sayapnya menjatuhkan kumpulan panci koleksi ibu, “sempit ini?”
“A—aku hanya membuat kue?” jawabanku kini justru terdengar seperti pertanyaan. Sebenarnya, pertanyaan terbesarnya adalah, apa yang sudah aku lakukan? Memanggil iblis?