Cerita Pendek - Di Lemari

Di Dalam Lemari

Posted on

Tok!

Tok!

Tok!

Sraak!

Kedua kelopak mataku langsung terbuka lebar. Suara ketukan itu kembali terdengar lagi, dan sama seperti biasanya, tiga kali ketukan diikuti satu kali suara tarikan kuku itu terdengar dari balik pintu lemariku.

Begitu pun waktu terdengarnya ketukan itu. Ah, aku bahkan kini tak mau lagi repot-repot mengangkat kepalaku untuk mengecek penanda waktu yang ada tepat di atas kepalaku. Tak lama lagi penanda waktu yang ada di ujung lorong seberang kamarnya pasti akan berdentang dua kali, tanda waktu menunjukkan pukul dua malam.

Tak lama lagi, kurang lebih sekitar lima menit lagi. Sama seperti hari-hari biasanya, ketika suara nada tiga ketukan dan satu garukan itu terdengar.

Tok! Tok! Tok! Sraak!

Sekali lagi suara itu terdengar. Pola yang masih sama seperti biasanya. Tiga ketukan dan satu garukan selama tiga kali dalam rentang waktu lima menit.

Tepat pada pukul dua kurang lima menit hingga pukul dua dini hari.

Ada jeda satu hingga dua menit dari tiga ketukan dan satu garukan yang satu dan yang berikutnya. Dan setelah penanda waktu yang ada di ujung lorong itu berdenting keras dua kali, suara ketukan dan garukan itu tak lagi terdengar hingga pukul dua esok dini hari.

Tok! Tok! Tok! Sraak!

Ding! Ding!

Yang ketiga, diikuti denting waktu sebanyak dua kali. Akhir dari suara tiga ketukan dini hari ini.

Aku jadi teringat pada cerita salah seorang temanku yang bercerita mengenai waktu sakral antara pukul dua hingga tiga dini hari. Menurut kepercayaan yang dianutnya, waktu-waktu tersebut adalah waktu dimana makhluk tak kasat mata mulai berkeliaran.

Entah apakah itu benar atau tidak, tapi yang kuketahui adalah suara di balik pintu lemari itu terdengar lima menit sebelum waktu sakral itu dimulai. Saat kujawab begitu pada temanku, dia justru berujar mungkin suara itu adalah penanda dimulainya waktu sakral itu.

Terdengar masuk akal? Tidak bagiku.

Tok! Tok! Tok! Sraaaaak!

Aku terkesiap. Kedua mataku yang sudah terpejam dan nyaris terlelap langsung terbuka lebar. Jantungku langsung terasa berdebar dua kali lebih kencang daripada biasanya. Suara ketukan dan garukan itu kembali terdengar, padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Bahkan suara garukan yang terdengar pun tak seperti biasanya. Lebih lama, dan lebih pelan.

Aku terduduk dan menatap kosong pintu lemari yang tertutup rapat di ujung kamarku. Menunggu, seandainya suara itu kembali terdengar atau bahkan terbuka sendiri dan menampakkan apa yang ada di dalamnya—meskipun sebenarnya tiada banyak guna, karena isi lemariku hanyalah pakaian dan mainan yang paling kusuka.

Kemudian apa yang akan kulakukan kalau suara itu kembali terdengar atau pintu lemariku mendadak terbuka? Apa aku akan berusaha mengecek asal suara, meskipun aku tahu isinya tak akan banyak berubah dari dua hari yang lalu? Atau aku akan membiarkannya begitu saja hingga entah pukul berapa suara itu akan berhenti?

Tok! Tok! Tok! Sssraaakk!

Terdengar lagi, dan aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Pun apa yang sebenarnya tengah kurasakan. Tak ada rasa takut yang kurasakan, meskipun rasa khawatir itu memang ada. Pun tak ada rasa ingin mengetahui apa yang ada di balik pintu lemariku, meskipun aku tak bisa memungkiri suara itu semakin merisaukan hari demi hari.

Ironi, ketika sebuah tempat berukuran 50cm x 1m di balik pintu itu pernah menjadi tempat persembunyianku. Tempat yang begitu terasa nyaman, diantara pakaian lembut dan tebal yang terasa memelukku hangat, di antara tembok dingin gelap dan menyesakkan yang anehnya justru membuatku merasa aman. Tak pernah sekalipun membuatku merasa terancam, apalagi tersakiti.

Tok! Tok! Sssraaaakkk!

Ketukannya berkurang satu. Kali ini aku benar-benar sudah tak tahan lagi. Dengan cepat aku segera turun dari tempat tidur, lalu berjalan tanpa terburu ke arah lemari. Tanpa terburu, meskipun isi dalam dada ini terasa begitu menggebu-gebu. Dengan penuh tekad, aku harus menemukan apa penyebab gangguan-gangguan malamku itu.

Tok!

Sebuah ketukan terdengar lemah saat tanganku sudah berada di pegangan pintu. Ketukan lemah yang cukup membuatku menghentikan gerak tanganku dan menunggu jika ada suara ketukan yang berikutnya.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Aku pun langsung membuka lebar pintu lemariku, dan sebuah aroma asing langsung merebak dari dalam lemari. Aroma asing yang biasanya tak pernah tercium sama sekali. Dengan aroma yang cukup kuat dan mencekat, yang sepertinya berbau lebih kuat daripada alas kaki paman—dimana alas kaki paman itu pernah nyaris membuat pelayan yang membersihkan alas kakinya jatuh pingsan.

Kakiku reflek langsung mundur dua langkah. Namun pandanganku tak sedikitpun beralih dari benda-benda yang ada di dalam lemari.

Aneh, pikirku. Padahal saat terakhir kali aku membuka pintu lemariku, tak ada aroma aneh dan asing yang keluar dari sana. Entah apa yang menyebabkan aroma asing itu keluar, isi lemariku saja tak ada yang terlampau aneh hingga mengeluarkan aroma asing.

Pakaian-pakaian, beberapa jubah, alas kaki—yang dapat kupastikan kebersihannya, penutup kepala, dan beberapa mainan yang terlalu berharga untuk dipajang di kamarku.

Aku mengulurkan tanganku dan menyusuri deretan pakaian yang tergantung rapih di dalam lemari dengan ujung jariku. Menggeser beberapa tatanan pakaian, melirik ke celah yang terlihat, berharap mendapatkan jawaban atas ketukan yang selalu terdengar nyaris setiap dini hari—oh, kau tahu, siapa tahu ada yang mendadak mengintip dari dalam sana.

Kakiku bahkan kembali mundur satu langkah, lalu berusaha benar-benar memperhatikan keseluruhan benda yang ada di dalam lemariku. Entahlah, aku seolah benar-benar berharap ada suatu benda yang bergerak atau berpindah tempat di sana. Posisi pakaian yang berpindah tempat mungkin, atau alas kaki yang tertukar pasangannya, jubah yang mendadak menyempil di antara pakaian tipisku, atau bahkan mainan yang tidak berada di tempatnya semula. Entahlah.

Namun nihil. Tak ada yang berbeda dari isi lemariku. Tak ada benda asing yang tidak kukenal di dalam situ—ah terkecuali boneka baru yang kudapatkan dari pamanku beberapa hari yang lalu. Boneka porcelain yang begitu indah dan cantik. Yang, meskipun aku tak terlalu menyukai beberapa fiturnya yang aneh, namun nampak pas dan tepat begitu saja. Kedua matanya yang berwarna biru terang, dan bulu halus kekuningan yang menutupi kepalanya, jemarinya yang berjumlah ganjil di setiap tangan dan kakinya. Aneh, tapi pas.

Ada sebuah benda yang menutupi jalur bicara dan napasnya. Paman sempat berpesan untuk tidak menyentuh benda berbentuk setengah bulat itu. Namun rasa ingin tahuku membuatku sempat menyentuh benda itu beberapa hari yang lalu. Dan jika diingat-ingat dengan baik, suara ketukan itu sebenarnya mulai terdengar setelah aku iseng menyentuh benda itu. Entah apakah sebenarnya memang ada hubungannya antara benda setengah bulat itu dengan suara yang belakangan ini menggangguku, tak ada yang benar-benar tahu.

Kemudian, kira-kira apa yang akan terjadi jika aku kembali menyentuh—atau bahkan melepas benda itu?

Rasa ingin tahu ini mulai menggangguku. Jika sudah seperti ini, aku tak akan bisa tidur nyenyak sebelum benar-benar menyalurkan rasa ingin tahu itu. Pilihannya adalah, melakukannya atau tak akan bisa tidur karenanya.

Aku pun langsung mengulurkan tanganku. Berusaha membuka benda berbentuk setengah lingkaran yang menutup jalur bicara dan napas bonekaku itu. Aku tak mengharapkan ada sesuatu yang akan terjadi setelah aku membukanya. Tak jua…

“MAKHLUK ALIEN SIALAN! LEPASKAN AKU! KEMBALIKAN AKU KE BUMI!!”

…Kalimat teriakan yang langsung terdengar setelah aku berhasil membuka benda setengah lingkaran itu. Segera aku langsung kembali mengembalikan benda itu ke tempatnya semula. Sepertinya, esok hari aku harus mengembalikan boneka itu kepada pamanku. Atau memberikannya ke tetangga sebelah, jika perlu. Ya, mana pun itu, aku harus segera menyingkirkan boneka itu secepatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *