Cerita Pendek - Aisyah & Andra

Aisyah & Andra

Posted on

“Jadi, maukah kau menikah denganku?”

Jika mendengar pertanyaan itu, apa yang ada di dalam benak kalian? 

Seorang pria yang berlutut di hadapan gadisnya, dengan membawa sebuah kotak kecil berisi cincin bertahtakan berlian yang bersinar ketika tersentuh sinar matahari? Atau sebuah makan malam romantis antara dua insan manusia, dimana sang gadis terharu berurai air mata ketika menemukan sebuah cincin yang tetap berkilau di dalam makanan penutupnya? Diikuti dengan gerak romantis sang lelaki berlutut di samping si gadis, ditambah beberapa pelayan yang sudah bekerjasama sebelumnya untuk membawakan rangkaian bunga kesukaan si wanita—meskipun jujur saja aku lebih menyukai kue brownies daripada rangkaian bunga. Juga para pemain musik bayaran yang langsung memainkan alat musiknya menciptakan alunan syahdu yang semakin membuat si gadis berurai air mata.

Atau mungkin ada hal lain yang muncul di sudut otak kalian ketika kembali mendengar hal itu.

Sayangnya, bukan dua hal yang kusebutkan di atas yang sekarang terjadi di hadapanku.

Tidak ada pria yang berlutut sambil membuka kotak kecil berisi cincin, tidak ada pula ucap gemetar di kalimat si pria. Tidak ada kejutan manis di dalam makanan pembuka ataupun penutup, tidak ada rangkaian besar bunga maupun tumpukan kue brownies, apalagi pemain musik yang akan memainkan alunan lembut.

Tidak ada satupun dari hal itu, kecuali dua orang yang saling duduk berhadapan. Laki-laki dan perempuan, juga beberapa orang di sekitar keduanya. Beberapa orang, karena menyebut satu kumpulan orang yang bergerumul di satu ruangan kecil ini terasa terlalu panjang, jadi untuk mudahnya, beberapa orang.

“Jadi bagaimana?” Andra, sang pria, kembali menanyakan hal yang sama.

Satu hal yang sebenarnya sedikit mengesalkan adalah bagaimana cara Andra berbicara. Lembut, mendayu, dengan sedikit serak yang terdengar jelas di beberapa kata. Mengesalkan, karena suara itu, ditambah caranya ketika menyentuh halus tubuhku, mengecup, memanjakan, dapat membuat degup jantungku langsung melompat cepat.

Sekarang, sekadar mendengar suaranya saja sudah membuat reaksi yang sama.

“Kenapa tidak dijawab?” sebuah suara pelan terdengar di antara kumpulan orang yang berkerumun di ruangan sempit ini. Perlahan suara gumaman-gumaman pelan mulai terdengar semakin keras.

“Tidak apa-apa. Mungkin Aisyah harus memikirkan dulu baik-baik. Jangan dipaksa,” ujar Andra dengan senyum menampilkan deretan giginya yang sedikit berantakan.

Kembali jantungku berdegup kencang. 

Aku pernah membicarakan mengenai deretan giginya itu di sela-sela kecupan-kecupan kecilnya. Andra bukan anak dari keluarga yang tidak berada, meskipun tidak terlalu berkecukupan pula. Tapi setidaknya Andra masih bisa meminta ibunya untuk membawanya ke seorang dokter gigi.

Saat itu Andra berdalih, jauh lebih penting baginya mengurus bisnis keluarganya daripada giginya yang tidak rata. Aku hanya bisa merespon dengan senyuman dan kembali membiarkan lelaki itu melanjutkan kecupan-kecupannya.

“Dek Aisyah,” suara berat kembali terdengar. Aku tahu bahwa itu suara milik ayah Andra karena pernah bertemu dengannya beberapa kali, “kalau dek Aisyah belum siap, kami tidak apa-apa kok.”

“Ais, jangan menunduk terus seperti itu! Ini gimana Andranya?” kali ini suara ibuku terdengar nyaring, atau kuharap demikian. Karena aku tak mau siapa pun di ruangan ini dapat mendengar detak jantungku yang sepertinya semakin kencang saja. Beberapa kali aku bahkan sampai menelan ludahku dan ujung kemejaku yang kuremas sedari tadi tak lagi mulus rapi.

“Aku bersedia,” bisik Ais sembari mengangguk lemah.

Serentak seluruh isi ruangan mungil ini bergemuruh, semua saling berpelukan penuh kebahagiaan, pun dengan Andra dan deretan gigi tak ratanya yang terlihat. Perlahan, rasa hangat membasahi pipiku dan pandanganku terasa mulai memudar.

“Amira, kamu kenapa?” sebuah tepukan pelan terasa di pundakku. Aku menoleh dan mendapati salah seorang bibiku di sana. Kepalaku menggeleng lemah.

“Kamu pasti turut bahagia dengan adikmu, ya?”

Kali ini kepalaku mengangguk yakin seolah bersungguh-sungguh. Sekilas aku melirik ke arah dua insan yang kini sudah duduk berdampingan dan mendengarkan wejangan dari kedua orangtua kedua belah pihak, yang tak satupun masuk ke dalam telingaku.

Alih-alih, sebuah dengungan yang bergumam terdengar di telingaku. Gumaman yang tak akan pernah aku lupakan sampai ajal menjemputku. Gumaman yang diucapkan Andra padaku beberapa minggu yang lalu.

“Maaf Amira, aku tidak bisa menikah denganmu. Kamu tahu sendiri aku tidak bisa mempermalukan keluargaku dengan menikahi gadis bisu. Lagipula, selama ini aku juga sudah mendekati adikmu dan sepertinya kami cocok.”

Sekali lagi kuarahkan pandanganku ke arah adik perempuanku dan pria yang duduk di sampingnya. Senyum tipis hanya bisa kuberikan ketika pandanganku bertemu dengan adikku.

“Kamu ikhlas, kan?” suara berat Andra mendadak kembali terdengar di dalam kepalaku.

Pandanganku melengos ketika tidak sengaja bertukar pandang dengan Andra.

Ah, memangnya apa pengaruhnya kalau aku tidak ikhlas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *